Saya dan kawan-kawan (saat di baduy luar) bersama Kang Juli yangmerupakan orang Baduy Dalam. |
26
Desember 2011. Waktu yang ditunggu pun tiba. Saya dan rombongan berangkat dari
kampus UPI pukul 03.30. Semula, kami akan berangkat pukul 02.00. Karena ada
kesalahan teknis, jadwal keberangkatan pun bergeser. Ini sangat menjengkelkan.
Betapa tidak, bus yang kami tumpangi ternyata bukan dari pihak yang sudah
profesional. Mungkin saja bus yang disewa sangat murah.
Baduy.
Suku yang terletak di Provinsi Banten. Orang-orang Baduy masih memegang kuat
adat nenek moyangnya. Ke tempat itulah kami akan menuju kali ini. Perjalanan
ini merupakan praktikum dari beberapa mata kuliah saya di jurusan pendidikan
sejarah UPI. Tiap tahun lokasi Baduy menjadi objek praktikum mahasiswa sejarah
UPI.
Hasrat
ke Baduy pernah menggebu-gebu saat duduk di bangku SMA. Saya ingat, waktu itu
kelas 2 SMA akan melakukan study tour ke Baduy. Entah kenapa, sekolah
menggagalkan keinginan saya dan kawan-kawan sekelas. Beruntung, di jurusan yang
saya timba ilmunya ternyata ada kesempatan praktikum dengan mengunjungi Baduy.
Meski badan kurang fit, tapi hasrat ini tak bisa dibendung.
Menuju
Baduy, mobil akan melewati Jakarta
melalui jalan tol Pasteur. Kendaraan besar ini mulai melaju. Rasa kantuk yang
sudah diusir datang kembali. Saya pun terlelap di atas kursi mobil beberapa
jam.
Sudah
pukul 07.25, saya terbangun dan melirik ke arah jendela mobil. Tak terasa kini
mobil yang tadi kami tumpangi sudah memasuki kota Jakarta .
Bus keluar dari pintu tol Cikupa. Perjalanan menuju Banten masih cukup jauh.
Serang.
Ibu kota
Provinsi Banten. Kami sudah memasuki kota
tersebut. Pukul 08.00 kami istirahat di Rest Area Tol Serang. Beberapa menit
kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini saya terhindar dari rasa
kantuk. Saya melototi pemandangan di tepi sepanjang jalan.
“Rumah-rumah
di pinggiran jal tol itu, atap dan temboknya bercatkan berbagai macam provider
hand phone.” Heran. Apa ini menarik? Yang jelas, selama bepergian belum pernah
melihat pemandangan semacam ini. Pukul 08.35, bus sudah keluar dari pintu tol
serang timur.
Pukul
10.30 dekat wilayah Rangkasbitung, salah satu mobil rombongan kami mogok. Naas
sekali. Meski saya tidak berada di mobil tersebut, tapi perjalanan harus
ditunda hingga mobil tersebut beroperasi kembali.
Kesal,
ditambah lapar, belum lagi panas. Hah… saya dan lainnya hanya bisa menggerutu.
Ini akibat panitia memilih sembarangan penyewa mobil. Sejam kemudian, mobil
mogok tadi bisa kembali melanjutkan perjalanan.
Sekitar
pukul 13.30 kami sampai di Ciboleger Ini
merupakan tempat perhentian bus atau kendaraan lainnya yang akan menuju Baduy. Nampak
beberapa anak muda mendekati rombongan kami. Mereka menawarkan porter, yaitu jasa membawakan barang yang
kami bawa. Untuk ukuran tas, biaya porter
dari Ciboleger sampai ke Gazebo Baduy luar berkisar antara Rp15-20 ribu. Meski
ada jasa seperti itu, tapi saya dan beberapa kawan memilih tak menggunakan jasa
porter. Saya membawa barang bawaan sendiri.
Rombongan
kami dipandu oleh Kang Uday, orang Banten yang sudah sering keluar masuk Baduy
dan dipercaya oleh orang-orang disana. Jarak yang ditempuh menuju Gazebo Baduy
kata Kang Uday, tak terlalu jauh. Sekitar 4 km. Biasanya, waktu yang ditempuh
menuju Gazebo kurang dari 2 jam. Jalan yang harus kami lalui cukup terjal,
jalan setapak naik turun seperti di bukit. Menurut Kang Uday, jika tidak
terlalu banyak istirahat bisa ditempuh dengan waktu 30-60 Menit.
Rumah Masyarakat Baduy Luar |
Dari
Ciboleger kami berjalan ke arah atas sekitar 15 menit. Tempat yang pertama kami
kunjungi adalah kawasan Baduy Luar. Kami melihat rumah-rumah panggung orang Baduy
hanya berdinding bambu, bertiang kayu, dan beratap daun aren. Nampak pula para
perempuan tengah menenun di depan rumahnya. Berjejer di depan rumah mereka souvenir-souvenir
khas Baduy yang bisa menjadi oleh-oleh pengunjung.
Kami beristirahat
cukup lama di tempat ini. Saat saya duduk di pelataran rumah, beberapa anak
kecil berusia 5-6 tahun mambawa batang kayu di pundaknya. Masing-masing membawa
kayu sebanyak 1-2 buah dengan diameter 5-10 cm. Anak-anak ini berasal dari
kawasan Gazebo.
Setelah
beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Gazebo. Jalan yang dilalui
tidak seberat jalur menuju Baduy Dalam. Kami tiba sekitar pukul 16.30 WIB. Di
wilayah inilah kami akan menginap untuk menjadi tempat peristirahatan kami.
***
Setelah
melalui satu malam di Baduy Luar, kami akan melakukan perjalanan menuju Baduy Dalam.
Kali ini, kami harus menggunakan jasa porter dengan biaya Rp 20 ribu. Kami
melewati sebuah jembatan, di bawahnya terdapat sungai seperti yang saya sebutkan
sebelumnya. Jembatan tersebut hanya berbahan bambu yang diikat oleh ijuk,
disangga oleh dua pohon besar di setiap ujungnya. Terus terang saja, saya belum
pernah melihat jembatan model demikian. Terasa kokoh meski tak tersentuh
teknologi.
Setelah
melewati jembatan tersebut, medan
yang dilalui cukup berat. Tidak sedikit tanjakan yang kami lalui dan cukup
terjal. Selain itu, kami harus melalui turunan curam, serta sungai-sungai yang
harus dilewati. Sepanjang perjalanan, kami harus pula menerobos hutan.
Muka yang tak karuan setelah manaiki tanjakan. |
Perjalanan
yang kami tempuh sekitar 4 jam dengan jarak 12 km. Waktu yang dibutuhkan
tersebut sudah termasuk istirahat beberapa kali di jalan dan tanpa beban bawaan.
Ada beberapa
tanjakan yang cukup menguras tenaga saat kami daki. Dan, kami mendaki tanjakan “penyesalan”.
Namanya cukup unik, karena tanjakan ini begitu terjal dengan kemiringan sekitar
45°. Saya mengetahui nama tersebut dari senior yang sudah lebih dulu ke Baduy. Apakah
tanjakan yang saya daki tadi adalah tanjakan “penyesalan”? Entahlah, yang pasti
saya sudah banyak menguras tanaga dan bermandikan keringat.
Setelah
berjalan kurang lebih 3,5 jam kami menemukan sebuah jembatan yang mirip dengan
di Gazebo tadi. Jembatan tersebut merupakan batas antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Setelah melewatinya, kami
belum melihat rumah-rumah orang Baduy Dalam. Butuh beberapa kilometrer lagi perjalanan
untuk menjumpai rumah warga Baduy Dalam. Di sepanjang kiri kanan jalan banyak terdapat
pohon pisang, rambutan dan padi huma.
Desa
pertama yang kami temui adalah Cikertawana. Kami beristirahat sejenak di desa
tersebut sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Cibeo. Terdapat tiga desa di Baduy
Dalam, yaitu Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Pengelompokan rombongan kami
terbagi sesuai dengan jumlah desa. Jarak yang paling dekat adalah dari desa
Cikertawana ke Desa Cibeo, waktu tempuh yang diperlukan sekitar 15-20 menit.
Sedangkan ke desa Cikeusik waktu yang dibutuhkan sekitar 60 menit. Menurut
kelompok yang berangkat ke Cikeusik, bukan masalah jarak yang jauh, tapi medannya
yang cukup berat.
Sesampainya
di desa Cibeo, kami menempati salah seorang rumah warga. Pemiliknya biasa
dipanggil dengan sebutan Ayah. Saya pun ikut memanggilnya ayah. Namanya ayah Nalim , Ia
sangat ramah. Perbekalan yang dibawa seperti beras, sarden, ikan asin, abon
saya simpan di rumah itu. Selain itu, saya juga kawan-kawan membawakan
oleh-oleh untuk orang Baduy Dalam. Terutama saya membawa oleh-oleh dari Bandung untuk keluarga
Ayah Nalim.
Usai
berbincang-bincang dengan Ayah Nalim. Kami dihidangkan masakan dalam suasana
yang penuh kehangatan bersama. Ada
sesuatu yang tampak berbeda dari kehidupan warga Cibeo. Pada umumnya yang pergi
ke ladang adalah kalangan laki-laki, tapi disini yang biasa melakukan hal itu adalah
perempuan.
Saung di Huma/Ladang |
Perempuan
tidak terbiasa melayani atau menemani tamu, mereka lebih memilih untuk pergi ke
ladang. Ketika hal ini aku tanyakan kepada Ayah Nalim, bahasa yang digunakan
kalangan perempuan tidak terlalu baik. Di ladang perempuan kadang harus menginap,
ladang menjadi rumah kedua mereka yang dilengkapi pula dengan perlengkapan
tidur dan peralatan dapur.
Sorenya kami menemui pemimpin
adat yang disebut dengan Jaro. Oh maaf, ternyata Jaro bukanlah pemimpin adat,
tapi semacam perwakilan. Pemimpin adat disebut dengan Pu’un. Hanya saja, Pu’un
mewakilkan beberapa pekerjaannya kepada Jaro, Pu’un tidak bisa ditemui oleh
orang luar Baduy. Pu’un memiliki penasehat yang dinamakan Tangkesan. Jumlah
Jaro pada tiap desa di Baduy itu ada tujuh orang yang disebut dengan Jaro
Tangtu. Selain Pu’un dan Jaro ada pula yang membantu pekerjaan mereka, yaitu
Girang Serat. Girang Serat adalah orang yang menentukan waktu untuk melakukan gotong
royong huma di masyarakat Baduy. Selain menentukan waktu, Girang Serat juga bertanggung
jawab terhadap acara pembukaan nyacar,
nuaran, ngaduruk, ngaseuk, ngored, ngubaran huma sampai pada proses
penanaman.
Jaro
kampung Cibeo bernama Jaro Sami. Kami diterima di rumahnya dengan ramah. Banyak
hal yang kami perbincangkan dengan Jaro Sami, terutama mengenai adat istiadat
yang ada di masyarakat Baduy. Sebenarnya, mereka tidak begitu senang apabila
disebut sebagai Orang Baduy, mereka lebih senang dipanggil dengan Masyarakat
Kanekes, yaitu daerah yang mereka tinggali. Dalam pandangan mereka, Baduy
adalah sebutan untuk golongan pelarian atau orang-orang yang berjiwa bar-bar.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment