Saturday, January 21, 2012

Bertemu Masyarakat Baduy

Saya dan kawan-kawan (saat di baduy luar) bersama 
Kang Juli yangmerupakan orang Baduy Dalam.


26 Desember 2011. Waktu yang ditunggu pun tiba. Saya dan rombongan berangkat dari kampus UPI pukul 03.30. Semula, kami akan berangkat pukul 02.00. Karena ada kesalahan teknis, jadwal keberangkatan pun bergeser. Ini sangat menjengkelkan. Betapa tidak, bus yang kami tumpangi ternyata bukan dari pihak yang sudah profesional. Mungkin saja bus yang disewa sangat murah.

Baduy. Suku yang terletak di Provinsi Banten. Orang-orang Baduy masih memegang kuat adat nenek moyangnya. Ke tempat itulah kami akan menuju kali ini. Perjalanan ini merupakan praktikum dari beberapa mata kuliah saya di jurusan pendidikan sejarah UPI. Tiap tahun lokasi Baduy menjadi objek praktikum mahasiswa sejarah UPI.
Hasrat ke Baduy pernah menggebu-gebu saat duduk di bangku SMA. Saya ingat, waktu itu kelas 2 SMA akan melakukan study tour ke Baduy. Entah kenapa, sekolah menggagalkan keinginan saya dan kawan-kawan sekelas. Beruntung, di jurusan yang saya timba ilmunya ternyata ada kesempatan praktikum dengan mengunjungi Baduy. Meski badan kurang fit, tapi hasrat ini tak bisa dibendung.

Menuju Baduy, mobil akan melewati Jakarta melalui jalan tol Pasteur. Kendaraan besar ini mulai melaju. Rasa kantuk yang sudah diusir datang kembali. Saya pun terlelap di atas kursi mobil beberapa jam.
Sudah pukul 07.25, saya terbangun dan melirik ke arah jendela mobil. Tak terasa kini mobil yang tadi kami tumpangi sudah memasuki kota Jakarta. Bus keluar dari pintu tol Cikupa. Perjalanan menuju Banten masih cukup jauh.

Serang. Ibu kota Provinsi Banten. Kami sudah memasuki kota tersebut. Pukul 08.00 kami istirahat di Rest Area Tol Serang. Beberapa menit kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini saya terhindar dari rasa kantuk. Saya melototi pemandangan di tepi sepanjang jalan.

“Rumah-rumah di pinggiran jal tol itu, atap dan temboknya bercatkan berbagai macam provider hand phone.” Heran. Apa ini menarik? Yang jelas, selama bepergian belum pernah melihat pemandangan semacam ini. Pukul 08.35, bus sudah keluar dari pintu tol serang timur.

Pukul 10.30 dekat wilayah Rangkasbitung, salah satu mobil rombongan kami mogok. Naas sekali. Meski saya tidak berada di mobil tersebut, tapi perjalanan harus ditunda hingga mobil tersebut beroperasi kembali.

Kesal, ditambah lapar, belum lagi panas. Hah… saya dan lainnya hanya bisa menggerutu. Ini akibat panitia memilih sembarangan penyewa mobil. Sejam kemudian, mobil mogok tadi bisa kembali melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 13.30 kami sampai di Ciboleger Ini merupakan tempat perhentian bus atau kendaraan lainnya yang akan menuju Baduy. Nampak beberapa anak muda mendekati rombongan kami. Mereka menawarkan porter, yaitu jasa membawakan barang yang kami bawa. Untuk ukuran tas, biaya porter dari Ciboleger sampai ke Gazebo Baduy luar berkisar antara Rp15-20 ribu. Meski ada jasa seperti itu, tapi saya dan beberapa kawan memilih tak menggunakan jasa porter. Saya membawa barang bawaan sendiri.

Rombongan kami dipandu oleh Kang Uday, orang Banten yang sudah sering keluar masuk Baduy dan dipercaya oleh orang-orang disana. Jarak yang ditempuh menuju Gazebo Baduy kata Kang Uday, tak terlalu jauh. Sekitar 4 km. Biasanya, waktu yang ditempuh menuju Gazebo kurang dari 2 jam. Jalan yang harus kami lalui cukup terjal, jalan setapak naik turun seperti di bukit. Menurut Kang Uday, jika tidak terlalu banyak istirahat bisa ditempuh dengan waktu 30-60 Menit.

Rumah Masyarakat Baduy Luar
Dari Ciboleger kami berjalan ke arah atas sekitar 15 menit. Tempat yang pertama kami kunjungi adalah kawasan Baduy Luar. Kami melihat rumah-rumah panggung orang Baduy hanya berdinding bambu, bertiang kayu, dan beratap daun aren. Nampak pula para perempuan tengah menenun di depan rumahnya. Berjejer di depan rumah mereka souvenir-souvenir khas Baduy yang bisa menjadi oleh-oleh pengunjung.

Kami beristirahat cukup lama di tempat ini. Saat saya duduk di pelataran rumah, beberapa anak kecil berusia 5-6 tahun mambawa batang kayu di pundaknya. Masing-masing membawa kayu sebanyak 1-2 buah dengan diameter 5-10 cm. Anak-anak ini berasal dari kawasan Gazebo.

Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Gazebo. Jalan yang dilalui tidak seberat jalur menuju Baduy Dalam. Kami tiba sekitar pukul 16.30 WIB. Di wilayah inilah kami akan menginap untuk menjadi tempat peristirahatan kami.

Para warga benar-benar mempertahankan adat mereka. Hal-hal yang berbau teknologi tidak pernah mau mereka terima. Bayangkan saja, disini tidak ada listrik. Apalagi radio dan televisi. Mereka jauh dari informasi. Mereka hanya bergaul dengan alam dan lingkungan sekitar. Jika malam tiba, mereka menerangi rumah-rumahnya dengan lampu minyak. Tak ada kamar mandi ataupun WC. Semua aktivitas seperti itu mereka pusatkan di sungai. Namun, para warga disini masih menggunakan sabun.
***
Setelah melalui satu malam di Baduy Luar, kami akan melakukan perjalanan menuju Baduy Dalam. Kali ini, kami harus menggunakan jasa porter dengan biaya Rp 20 ribu. Kami melewati sebuah jembatan, di bawahnya terdapat sungai seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Jembatan tersebut hanya berbahan bambu yang diikat oleh ijuk, disangga oleh dua pohon besar di setiap ujungnya. Terus terang saja, saya belum pernah melihat jembatan model demikian. Terasa kokoh meski tak tersentuh teknologi.

Setelah melewati jembatan tersebut, medan yang dilalui cukup berat. Tidak sedikit tanjakan yang kami lalui dan cukup terjal. Selain itu, kami harus melalui turunan curam, serta sungai-sungai yang harus dilewati. Sepanjang perjalanan, kami harus pula menerobos hutan.

Muka yang tak karuan setelah manaiki tanjakan.
Perjalanan yang kami tempuh sekitar 4 jam dengan jarak 12 km. Waktu yang dibutuhkan tersebut sudah termasuk istirahat beberapa kali di jalan dan tanpa beban bawaan. Ada beberapa tanjakan yang cukup menguras tenaga saat kami daki. Dan, kami mendaki tanjakan “penyesalan”. Namanya cukup unik, karena tanjakan ini begitu terjal dengan kemiringan sekitar 45°. Saya mengetahui nama tersebut dari senior yang sudah lebih dulu ke Baduy. Apakah tanjakan yang saya daki tadi adalah tanjakan “penyesalan”? Entahlah, yang pasti saya sudah banyak menguras tanaga dan bermandikan keringat.

Setelah berjalan kurang lebih 3,5 jam kami menemukan sebuah jembatan yang mirip dengan di Gazebo tadi. Jembatan tersebut merupakan batas antara Baduy Luar  dan Baduy Dalam. Setelah melewatinya, kami belum melihat rumah-rumah orang Baduy Dalam. Butuh beberapa kilometrer lagi perjalanan untuk menjumpai rumah warga Baduy Dalam. Di sepanjang kiri kanan jalan banyak terdapat pohon pisang, rambutan dan padi huma.

Desa pertama yang kami temui adalah Cikertawana. Kami beristirahat sejenak di desa tersebut sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Cibeo. Terdapat tiga desa di Baduy Dalam, yaitu Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Pengelompokan rombongan kami terbagi sesuai dengan jumlah desa. Jarak yang paling dekat adalah dari desa Cikertawana ke Desa Cibeo, waktu tempuh yang diperlukan sekitar 15-20 menit. Sedangkan ke desa Cikeusik waktu yang dibutuhkan sekitar 60 menit. Menurut kelompok yang berangkat ke Cikeusik, bukan masalah jarak yang jauh, tapi medannya yang cukup berat.

Sesampainya di desa Cibeo, kami menempati salah seorang rumah warga. Pemiliknya biasa dipanggil dengan sebutan Ayah. Saya pun ikut memanggilnya ayah. Namanya ayah Nalim, Ia sangat ramah. Perbekalan yang dibawa seperti beras, sarden, ikan asin, abon saya simpan di rumah itu. Selain itu, saya juga kawan-kawan membawakan oleh-oleh untuk orang Baduy Dalam. Terutama saya membawa oleh-oleh dari Bandung untuk keluarga Ayah Nalim.

Usai berbincang-bincang dengan Ayah Nalim. Kami dihidangkan masakan dalam suasana yang penuh kehangatan bersama. Ada sesuatu yang tampak berbeda dari kehidupan warga Cibeo. Pada umumnya yang pergi ke ladang adalah kalangan laki-laki, tapi disini yang biasa melakukan hal itu adalah perempuan.

Saung di Huma/Ladang
Perempuan tidak terbiasa melayani atau menemani tamu, mereka lebih memilih untuk pergi ke ladang. Ketika hal ini aku tanyakan kepada Ayah Nalim, bahasa yang digunakan kalangan perempuan tidak terlalu baik. Di ladang perempuan kadang harus menginap, ladang menjadi rumah kedua mereka yang dilengkapi pula dengan perlengkapan tidur dan peralatan dapur.

Sorenya kami menemui pemimpin adat yang disebut dengan Jaro. Oh maaf, ternyata Jaro bukanlah pemimpin adat, tapi semacam perwakilan. Pemimpin adat disebut dengan Pu’un. Hanya saja, Pu’un mewakilkan beberapa pekerjaannya kepada Jaro, Pu’un tidak bisa ditemui oleh orang luar Baduy. Pu’un memiliki penasehat yang dinamakan Tangkesan. Jumlah Jaro pada tiap desa di Baduy itu ada tujuh orang yang disebut dengan Jaro Tangtu. Selain Pu’un dan Jaro ada pula yang membantu pekerjaan mereka, yaitu Girang Serat. Girang Serat adalah orang yang menentukan waktu untuk melakukan gotong royong huma di masyarakat Baduy. Selain menentukan waktu, Girang Serat juga bertanggung jawab terhadap acara pembukaan nyacar, nuaran, ngaduruk, ngaseuk, ngored, ngubaran huma sampai pada proses penanaman.

Jaro kampung Cibeo bernama Jaro Sami. Kami diterima di rumahnya dengan ramah. Banyak hal yang kami perbincangkan dengan Jaro Sami, terutama mengenai adat istiadat yang ada di masyarakat Baduy. Sebenarnya, mereka tidak begitu senang apabila disebut sebagai Orang Baduy, mereka lebih senang dipanggil dengan Masyarakat Kanekes, yaitu daerah yang mereka tinggali. Dalam pandangan mereka, Baduy adalah sebutan untuk golongan pelarian atau orang-orang yang berjiwa bar-bar. (bersambung)

No comments:

Post a Comment