Monday, January 2, 2012

Kasus Buruh di Indonesia


Apabila kita menyimak mengenai kondisi ketenagakerjaan di Indonesia maka kita akan melihat kondisi yang kompleks dan rumit yang ada di dalamnya dan hal ini terus menerus bermunculan dan seolah-olah tak pernah ada penyelesaian, terutama untuk golongan buruh. Apabila kita mencoba untuk menilik bagaimana dengan sejarah perburuhan di Indonesia, bisa dikatakan kedudukan para buruh selalu tragis dan menyedihkan. Hal ini bukan karena mereka harus mati-matian dalam bekerja untuk mendapatkan upah yang setara, tetapi nasib mereka juga dipertaruhkan. Semenjak kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, nasib kaum buruh selalu memprihatinkan, mereka selalu menjadi orang-orang yang termarginalkan yang seolah-olah mereka menjadi orang yang tak pernah jelas masa depannya. Meskipun dewasa ini banyak perserikatan buruh atau kelompok-kelompok sosial yang membahas buruh, belum dapat menyelesaikan masalah buruh. Meskipun kaum buruh itu sendiri sering turun ke jalan untuk melakukan aksi demo terhadap pemerintah atau terhadap majikannya tetapi hal ini tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dan pengusaha, terutama ketika rezim reformasi.
Peristiwa perburuhan yang akhir-akhir ini terjadi dikatakan sebagai fenomena gunung es, yakni dimana permasalahan buruh yang terlihat hanya bagian permukaannya saja, namum sebenarnya masalahnya sangat rumit. Permasalahan buruh ini bukan hanya pada masalah teknis melainkan pada tataran ekonomi, yaitu mengarah pada gejala Neo-Liberalisme dan Globalisasi Ekonomi.
Dari sisi politik, buruh termaginalkan baik dihadapan penguasa maupun dihadapan pengusaha. Dari sisi ekonomi, kondisi kehidupan buruh sangat buruk, diantaranya : upah rendah, jam kerja panjang, jaminan sosial dan kesehatan yang buruk, pemecatan, diskriminasi, pelecehan seksual(terhadap buruh perempuan khususnya). Dari sisi budaya, potensi buruh untuk berfikir kritis masih dihambat oleh serangkaian nilai-nilai yang dipaksakan oleh penguasa maupun pengusaha. Buruh perempuan juga masih dihambat  oleh nilai-nilai yang menempatkan perempuan pada posisi sekunder. Sedangkan dari sisi hukum, buruh masih ditempatkan sebagai faktor produksi dan selalu ditempatkan pada posisi kalah dan “tersangka”, jadi seolah-olah hukum berpihak pada pengusaha.
Derasnya arus reformasi, ternyata sama sekali tidak menyediakan ruang politik bagi kaum buruh untuk ikut serta dalam menentukan agenda perubahan politik ekonomi-politik. Gerakan buruh untuk menuntut hak-hak normatifnya yang marak memasuki era reformasi dinilai mengganggu jalannya agenda reformasi karena akan memacetkan aliran modal ke Indonesia. Permasalahan lain yaitu dimana terjadi krisis moneter pada tahun 1997 mengakibatkan maslah baru bagi golongan buruh, yaitu : PHK massal, naiknya harga kebutuhan pokok, bahan bakar, biaya kesehatan dan sekolah membungbung hingga 200%.  Dari hal-hal tersebut kaum buruh mengajukan permintaan kenaikan UMR 15%, namun sayangnya hal ini ditolak oleh para pengusaha.
Berbagai peristiwa unjuk rasa dan pemogokan buruh yang banyak terjadi di Indonesia, terutama dalam menuntut kenaikan upah minimum yang tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dan pengusaha sehingga banyak menimbulkan ketidakpastian di kalangan buruh. Buruh ini menuntut hak hidup sebagai pekerja yang layak mendapatkan upah sevara cukup dan baik. Selain penuntutan masalah kenaikan upah minimum yang layak, para buruh ini ingin mendapatkan perlakuan yang manusiawi dari majikannya. Tidak sedikit buruh yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari majikannya, seperti: intimidasi, pelecehan dll.
            Kehidupan buruh yang tidak kunjung membaik dari waktu ke waktu  dan pemenuhan hak-hak dasarnya inilah yang menjadi indikator utama dimana mereka melakukan suatu tindakan yang mungkin bisa dinilai anarkis. Saya rasa hal ini cukup wajar, karena seorang buruh-pun ialah manusia biasa yang menginginkan kehidupan yang sejahtera, sentausa dan layak. Berganti orde dan penguasa di Indonesia tidak serta merta kemudian merubah kesejahteraan buruh namun yang ada malah sebaliknya, dari mulai adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai penindasan dan ekploitasi.
            Masalah perburuhan ini bisa dikaji melalui teori dengan menggunakan Teori Konflik hasil pemikiran Karl Marx.Dalam tatanan sosial masyarakat, golongan buruh bila dilihat dari teori ini terdapat dua macam kelas dalam masyarakat yaitu : kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua golongan kaum ini berada dalam suatu tataran sosial hirarkis dimana kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum protelar dalam proses pengembangan atau melakukan hal-hal industri. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar,yang berujung  pada sebuah revolusi atau aksi besar-besaran dan mogok kerja.
            Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan, hal ini dilihat dari aksi buruh dalam menuntut hak-hak dasarnya. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat dan disini yang berperan dalam hal tersebut adalah golongan penguasa (birokrat) maupun pengusaha.
            Dengan adanya konflik inilah seperti aksi mogok buruh dan aksi turun ke jalan, ini bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial. Dalam teori konflik disebutkan perubahan sosial ditujukan karena adanya konflik kepentingan, ya konflik kepentingannya dimana (kembali lagi) para buruh menuntut pemenuhan hak-hak dasarnya untuk hidup layak.

Sumber:  Syafa’at,Rachmad. 2008. Gerakan Buruh dan Pemenuhan Hak Dasarnya (Strategi Buruh Dalam Melakukan Advokasi). Malang:In-TRANS Publishing.











No comments:

Post a Comment