Apabila kita menyimak mengenai kondisi ketenagakerjaan di Indonesia maka
kita akan melihat kondisi yang kompleks dan rumit yang ada di dalamnya dan hal
ini terus menerus bermunculan dan seolah-olah tak pernah ada penyelesaian,
terutama untuk golongan buruh. Apabila kita mencoba untuk menilik bagaimana
dengan sejarah perburuhan di Indonesia, bisa dikatakan kedudukan para buruh
selalu tragis dan menyedihkan. Hal ini bukan karena mereka harus mati-matian
dalam bekerja untuk mendapatkan upah yang setara, tetapi nasib mereka juga
dipertaruhkan. Semenjak kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, nasib kaum buruh
selalu memprihatinkan, mereka selalu menjadi orang-orang yang termarginalkan
yang seolah-olah mereka menjadi orang yang tak pernah jelas masa depannya.
Meskipun dewasa ini banyak perserikatan buruh atau kelompok-kelompok sosial
yang membahas buruh, belum dapat menyelesaikan masalah buruh. Meskipun kaum buruh
itu sendiri sering turun ke jalan untuk melakukan aksi demo terhadap pemerintah
atau terhadap majikannya tetapi hal ini tidak pernah mendapatkan perhatian
secara serius dari pemerintah dan pengusaha, terutama ketika rezim reformasi.
Peristiwa perburuhan yang akhir-akhir ini terjadi dikatakan sebagai fenomena gunung es, yakni dimana
permasalahan buruh yang terlihat hanya bagian permukaannya saja, namum
sebenarnya masalahnya sangat rumit. Permasalahan buruh ini bukan hanya pada
masalah teknis melainkan pada tataran ekonomi, yaitu mengarah pada gejala
Neo-Liberalisme dan Globalisasi Ekonomi.
Dari
sisi politik, buruh termaginalkan baik dihadapan penguasa maupun dihadapan
pengusaha. Dari sisi ekonomi, kondisi kehidupan buruh sangat buruk, diantaranya
: upah rendah, jam kerja panjang, jaminan sosial dan kesehatan yang buruk,
pemecatan, diskriminasi, pelecehan seksual(terhadap buruh perempuan khususnya).
Dari sisi budaya, potensi buruh untuk berfikir kritis masih dihambat oleh
serangkaian nilai-nilai yang dipaksakan oleh penguasa maupun pengusaha. Buruh
perempuan juga masih dihambat oleh
nilai-nilai yang menempatkan perempuan pada posisi sekunder. Sedangkan dari
sisi hukum, buruh masih ditempatkan sebagai faktor produksi dan selalu
ditempatkan pada posisi kalah dan “tersangka”, jadi seolah-olah hukum berpihak
pada pengusaha.
Derasnya arus reformasi, ternyata sama sekali tidak
menyediakan ruang politik bagi kaum buruh untuk ikut serta dalam menentukan
agenda perubahan politik ekonomi-politik. Gerakan buruh untuk menuntut hak-hak
normatifnya yang marak memasuki era reformasi dinilai mengganggu jalannya
agenda reformasi karena akan memacetkan aliran modal ke Indonesia. Permasalahan
lain yaitu dimana terjadi krisis moneter pada tahun 1997 mengakibatkan maslah
baru bagi golongan buruh, yaitu : PHK massal, naiknya harga kebutuhan pokok,
bahan bakar, biaya kesehatan dan sekolah membungbung hingga 200%. Dari hal-hal tersebut kaum buruh mengajukan
permintaan kenaikan UMR 15%, namun sayangnya hal ini ditolak oleh para pengusaha.
Berbagai peristiwa unjuk rasa dan pemogokan
buruh yang banyak terjadi di Indonesia, terutama dalam menuntut kenaikan upah
minimum yang tidak pernah mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah
dan pengusaha sehingga banyak menimbulkan ketidakpastian di kalangan buruh.
Buruh ini menuntut hak hidup sebagai pekerja yang layak mendapatkan upah sevara
cukup dan baik. Selain penuntutan masalah kenaikan upah minimum yang layak,
para buruh ini ingin mendapatkan perlakuan yang manusiawi dari majikannya.
Tidak sedikit buruh yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari
majikannya, seperti: intimidasi, pelecehan dll.
Kehidupan
buruh yang tidak kunjung membaik dari waktu ke waktu dan pemenuhan hak-hak dasarnya inilah yang
menjadi indikator utama dimana mereka melakukan suatu tindakan yang mungkin
bisa dinilai anarkis. Saya rasa hal ini cukup wajar, karena seorang buruh-pun
ialah manusia biasa yang menginginkan kehidupan yang sejahtera, sentausa dan
layak. Berganti orde dan penguasa di Indonesia tidak serta merta kemudian
merubah kesejahteraan buruh namun yang ada malah sebaliknya, dari mulai adanya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai penindasan dan ekploitasi.
Masalah
perburuhan ini bisa dikaji melalui teori dengan menggunakan Teori Konflik hasil pemikiran Karl Marx.Dalam tatanan sosial masyarakat, golongan buruh bila dilihat dari teori ini
terdapat dua macam kelas dalam masyarakat yaitu : kelas pemilik modal (borjuis)
dan kelas pekerja
miskin sebagai kelas proletar.
Kedua golongan kaum ini berada dalam suatu tataran sosial hirarkis dimana kaum
borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum protelar dalam proses pengembangan
atau melakukan hal-hal industri. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum
borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar,yang berujung pada sebuah revolusi atau aksi
besar-besaran dan mogok kerja.
Teori
konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada
keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami
konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan, hal ini dilihat dari aksi buruh
dalam menuntut hak-hak dasarnya. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi,
dan kekuasaan dalam masyarakat dan disini yang berperan dalam hal tersebut
adalah golongan penguasa (birokrat) maupun pengusaha.
Dengan
adanya konflik inilah seperti aksi mogok buruh dan aksi turun ke jalan, ini
bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial. Dalam teori konflik disebutkan
perubahan sosial ditujukan karena adanya konflik kepentingan, ya konflik
kepentingannya dimana (kembali lagi) para buruh menuntut pemenuhan hak-hak
dasarnya untuk hidup layak.
Sumber: Syafa’at,Rachmad. 2008. Gerakan Buruh dan Pemenuhan Hak Dasarnya
(Strategi Buruh Dalam Melakukan Advokasi). Malang:In-TRANS Publishing.
No comments:
Post a Comment