Wednesday, February 1, 2012

Tidak Untuk Siapapun

Sepagi ini, kamu sudah mengetuk pintu rumahku. Sepagi ini kamu sudah mengajak ku untuk berjalan menyusuri kota yang masih terlelap. Sepagi ini, kamu sudah memaksaku. Masih di sepagi ini, kamu menebarkan senyuman yang tak sanggup kutolak, untuk sekedar berkeliling kota. 

Kita susuri lelapnya kota ini, sampai suara di dapur setiap rumah mulai ramai.. Matahari kembali terjaga, aku duduk denganmu pada suatu taman. Kita berbicara hal ringan,namun tetap indah. Tak perlu bicara soal cinta atau perasaan, cukup bicara hal-hal yang begitu ringan tentang secangkir kopi dan secangkir teh.

Hari beranjak petang, kamu masih setia menemani aku yang kadang asyik dengan diri sendiri. Hal yang tak pernah terlewatkan denganmu adalah, memandang setiap hujan yang jatuh ke bumi. Begitu syahdu. Namun nampaknya tidak sesyahdu kita. Tak apalah, asalkan aku dan kamu senang.

Malam juga tak kalah menarik, kita berjalan menikamati Malioboro. Menikmati sepeda berhiaskan lampu (yang tidak kutahu namanya), dan kita berkeliling alun-alun. Usai itu, kamu mengajakku menikmati bintang dan segelas wedang jahe. Malam ini begitu sederhana, tapi tidak sesederhana perasaan kita….

***

Ya, itu dulu dan aku selalu merindukan ketika berjalan denganmu di pagi hari, untuk sekedar menikmati indahnya suasana kota saat mentari hendak tersenyum, untuk membuka hari…


Kini, aku rindu, rindu untuk memandangi tetesan hujan yang turun ke bumi. Aku selalu mengenang katamu saat menikmati hujan. “Tanah diluar itu sedang disetubuhi oleh rintikan gerimis dan aromanya menyusup melalui celah jendela, mengharumkan ruangan ini,”

Namun kini, aku menikmati tetesan itu hanya sendiri, disampingku hanya ada ilusi dirimu, dan aku menikmatimu dalam ilusi dan hujan. 

No comments:

Post a Comment