Saturday, January 12, 2013

Selamat Jalan, Pih (Part I)


Satu bulan sebelum papih pulang kapadaNya
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.” –Pramoedya Ananta Toer-

Siang itu, kereta mengantarkanku pulang. Sepanjang perjalanan perasaan gelisah terus menyelimuti hati. Aku mencoba untuk biasa, tak berpikir itu sebagai tanda atau firasat apapun. Kunikmati perjalanan, melihat hamparan sawah yang terbentang luas dan tetesan hujan yang berlarian di jendela kereta. Lalu, aku lihat anak-anak tengah asik bermain dengan air hujan. Sebagian dari mereka sibuk mengejar laju kereta. Aku hanya tersenyum melihat tingkah anak-anak itu. Tak terasa perjalanan ini telah membawaku ke stasiun terakhir, kota sementara yang aku tinggali. Entah sementara entah selamanya. Aku berjalan menyusuri stasiun ini dan mencari kendaraan umum yang akan membawaku pada pulau kapuk alias kasur.
Seperti biasa, hari minggu membuatku malas. Apalagi aktivitas sebelumnya cukup mdlelahkan, walapun memang terbayar dengan perjalanan saat di kereta dan obrolan dengan seseorang yang mengantarkanku ke stasiun. Tapi, mau tidak mau senin pasti datang. aku pikir senin kali ini tak akan terlalu parah, karena masih awal semester. Baiklah akan kuhadapi senin diawal bulan September ini.
Setiap hari aku jalani dengan aktivitas rutinku, kuliah dan organisasi. Tapi, aku banyak merasakan kejanggalan dengan apa yang aku lakukan. Semula, aku pikir karena aku jenuh dengan segala rutinitas, tapi nampaknya ada hal yang lain tapi entah apa. Awalnya aku tak menyadari perubahan ini, aku rasa hanya tindakan biasa. Aku sering berdiamndiri dan merasa sedih, jjuga entah apa yang membuatku sedih. Rasanya sedih, sepi dan sendiri.
Dalam kesendirian, aku kadang menangisi kesalahan-kesalahan yang telah aku akukan pada kedua orangtuaku. Sebelumnya, aku juga sempat demikian, namun tidak sampai begini keadaannya. Kadang, dalam sesuatu melintasi alam pikiranku. Terbayang, apabila aku menerima telepon dari keluarga dirumah bahwa papih telah tiada. Tak terbayang aku pulang dan papih telah tiada. Tapi buru-buru kutepis perasaan itu. Gila saja aku berpikir demikian. Anehnya pikiran itu sering menyergapi kesendirianku, namun aku selalu menepis pikiran gilaku itu.
Hari-hari berjalan seperti biasanya. Masih dengan perasaan dan pikiran yang tak menentu. Hari itu adalah penghujung bulan September, hasrat untuk pulang ke rumah semakin besar. Entah apa yang membuatku ingin sekali pulang, karena biasanya keinginan ini tak pernah sehebat ini. Akhirnya, aku putuskan hari jum’at harus pulang. Baik itu sore sore maupun malam, bahkan semalam apapun aku harus pulang. Esok harinya, saat senja tiba dan mentari sudah tak terlihat karena hujan rintik-rintik aku bergegas untuk segera pulang. Iseng kuambil telepon seluler dan kuhubungi mamah. Ternyata mamah di perjalanan menuju ke Bandung, katanya mau bawa papih check up.Bincang-bincang selesai dengan mamah, akhirnya aku menuju tempat praktik dokter papih. Sesampainya disana, kulihat papih dan mamah sedang duduk diruang tunggu menunggu giliran untuk dipanggil. Aku lihat kondisi papih nampak lain nafasnya sedikit sesak dan wajahnya nampak murung, aku tanya apa yang dirasa papih hanya menggelengkan kepala. Tak banyak tanya lagi aku telah mengerti maksudnya, tentunya ada sesuatu yang dirasa. Aku berusaha untuk menghibur Papih. Selama perjalanan pulang ke rumah, Papih lebih banyak diam dan tertidur. Sampia saat itu, aku berpikir bahwa memang Papih lelah.
Esok pagi, sekitar pukul 05.45 aku masih tertidur dengan lelap. Mamah masuk kamar dan terburu-buru membangunkanku, mamah bilang papih menggigil lagi. Mamah minta aku menelpon abangku yang paling besar untuk segara ke rumah. Aku sontak terbangun, langsung menelpon abang dan dokter papih. Papih kembali minum obat, kemudian tertidur. Menjelang siang kondisinya nampak membaik, namun Papih masih engga mau makan. Mamah menawari papih mau makan apa, aku tanya mau gepuk, papih mau. Tak lama setelah aku beli gepuk, papih makan disuapi olehku. Makannya ga habis papih bilang gepuknya keras, padahal yang aku rasa tidak. sesaat setelah makan, papih mengajakku ke kamar, lalu papih minta aku memijit kakinya. Aku pijit kakinya, tak lama datang keponakanku dan papih bilang minta ia menciumnya. “De, sayang abah, abahnya sakit,”. Aku masih biasa, karena kupikir memang begitu biasanya. Tak lama kemudian, papih menangis sambil terbaring dan mengatakan sesuatu kepadaku. “Ca, aduh hampura papih ya ca,” sambil terisak. Akupun tak kuasa menahan tangis, butiran air mata bergelimang jatuh di pipiku, aku hanya diam tertunduk. Papih masih menangis, lalu aku bilang kalau Papih jangan bilang begitu, semua baik-baik saja. Aku terpaksa menahan tangis. Karena aku tak tega, akupun tinggalkan Papih sendiri di kamar agar istirahat. Aku menuju kamarku dan menangis.
Hari itu berlalu, dan aku masih tak merasa apapun. Hari minggu, aku pulang ke Bandung. Disini aku merasa ada yang lain, tak biasanya aku ingin pulang ke Bamdung sore hari. Saat mau pulang aku pamitan, cium tangan, kening, dan pipi papih .
“Papih sembuh ya pih, aku pulang dulu ya, Pih”
“Iya ati-ati, kalau udah sampe sms ya ca”
Aku berangkat, dalam perjalanan aku menangis. Sebenarnya, entah apa yang aku tangisi dan perasaan ini semakin tak menentu. Perjalanan terasa lama, sepanjang jalan diguyur hujan. Akupun sampai sudah cukup larut, lelah rasanya akupun tertidur. 

1 comment: