Satu bulan sebelum papih pulang kapadaNya |
Siang itu, kereta mengantarkanku
pulang. Sepanjang perjalanan perasaan gelisah terus menyelimuti hati. Aku
mencoba untuk biasa, tak berpikir itu sebagai tanda atau firasat apapun.
Kunikmati perjalanan, melihat hamparan sawah yang terbentang luas dan tetesan
hujan yang berlarian di jendela kereta. Lalu, aku lihat anak-anak tengah asik
bermain dengan air hujan. Sebagian dari mereka sibuk mengejar laju kereta. Aku
hanya tersenyum melihat tingkah anak-anak itu. Tak terasa perjalanan ini telah
membawaku ke stasiun terakhir, kota sementara yang aku tinggali. Entah
sementara entah selamanya. Aku berjalan menyusuri stasiun ini dan mencari
kendaraan umum yang akan membawaku pada pulau kapuk alias kasur.
Seperti biasa, hari minggu membuatku
malas. Apalagi aktivitas sebelumnya cukup mdlelahkan, walapun memang terbayar
dengan perjalanan saat di kereta dan obrolan dengan seseorang yang
mengantarkanku ke stasiun. Tapi, mau tidak mau senin pasti datang. aku pikir
senin kali ini tak akan terlalu parah, karena masih awal semester. Baiklah akan
kuhadapi senin diawal bulan September ini.
Setiap hari aku jalani dengan
aktivitas rutinku, kuliah dan organisasi. Tapi, aku banyak merasakan
kejanggalan dengan apa yang aku lakukan. Semula, aku pikir karena aku jenuh
dengan segala rutinitas, tapi nampaknya ada hal yang lain tapi entah apa.
Awalnya aku tak menyadari perubahan ini, aku rasa hanya tindakan biasa. Aku
sering berdiamndiri dan merasa sedih, jjuga entah apa yang membuatku sedih.
Rasanya sedih, sepi dan sendiri.
Dalam kesendirian, aku kadang
menangisi kesalahan-kesalahan yang telah aku akukan pada kedua orangtuaku.
Sebelumnya, aku juga sempat demikian, namun tidak sampai begini keadaannya.
Kadang, dalam sesuatu melintasi alam pikiranku. Terbayang, apabila aku menerima
telepon dari keluarga dirumah bahwa papih telah tiada. Tak terbayang aku pulang
dan papih telah tiada. Tapi buru-buru kutepis perasaan itu. Gila saja aku
berpikir demikian. Anehnya pikiran itu sering menyergapi kesendirianku, namun
aku selalu menepis pikiran gilaku itu.
Hari-hari berjalan seperti biasanya.
Masih dengan perasaan dan pikiran yang tak menentu. Hari itu adalah penghujung
bulan September, hasrat untuk pulang ke rumah semakin besar. Entah apa yang
membuatku ingin sekali pulang, karena biasanya keinginan ini tak pernah sehebat
ini. Akhirnya, aku putuskan hari jum’at harus pulang. Baik itu sore sore maupun
malam, bahkan semalam apapun aku harus pulang. Esok harinya, saat senja tiba
dan mentari sudah tak terlihat karena hujan rintik-rintik aku bergegas untuk
segera pulang. Iseng kuambil telepon seluler dan kuhubungi mamah. Ternyata
mamah di perjalanan menuju ke Bandung, katanya mau bawa papih check up.Bincang-bincang selesai dengan
mamah, akhirnya aku menuju tempat praktik dokter papih. Sesampainya disana,
kulihat papih dan mamah sedang duduk diruang tunggu menunggu giliran untuk
dipanggil. Aku lihat kondisi papih nampak lain nafasnya sedikit sesak dan
wajahnya nampak murung, aku tanya apa yang dirasa papih hanya menggelengkan
kepala. Tak banyak tanya lagi aku telah mengerti maksudnya, tentunya ada
sesuatu yang dirasa. Aku berusaha untuk menghibur Papih. Selama perjalanan
pulang ke rumah, Papih lebih banyak diam dan tertidur. Sampia saat itu, aku
berpikir bahwa memang Papih lelah.
Esok pagi, sekitar pukul 05.45 aku
masih tertidur dengan lelap. Mamah masuk kamar dan terburu-buru membangunkanku,
mamah bilang papih menggigil lagi. Mamah minta aku menelpon abangku yang paling
besar untuk segara ke rumah. Aku sontak terbangun, langsung menelpon abang dan
dokter papih. Papih kembali minum obat, kemudian tertidur. Menjelang siang
kondisinya nampak membaik, namun Papih masih engga mau makan. Mamah menawari
papih mau makan apa, aku tanya mau gepuk, papih mau. Tak lama setelah aku beli
gepuk, papih makan disuapi olehku. Makannya ga habis papih bilang gepuknya
keras, padahal yang aku rasa tidak. sesaat setelah makan, papih mengajakku ke
kamar, lalu papih minta aku memijit kakinya. Aku pijit kakinya, tak lama datang
keponakanku dan papih bilang minta ia menciumnya. “De, sayang abah, abahnya
sakit,”. Aku masih biasa, karena kupikir memang begitu biasanya. Tak lama
kemudian, papih menangis sambil terbaring dan mengatakan sesuatu kepadaku. “Ca,
aduh hampura papih ya ca,” sambil terisak. Akupun tak kuasa menahan tangis, butiran
air mata bergelimang jatuh di pipiku, aku hanya diam tertunduk. Papih masih
menangis, lalu aku bilang kalau Papih jangan bilang begitu, semua baik-baik
saja. Aku terpaksa menahan tangis. Karena aku tak tega, akupun tinggalkan Papih
sendiri di kamar agar istirahat. Aku menuju kamarku dan menangis.
Hari itu berlalu, dan aku masih tak
merasa apapun. Hari minggu, aku pulang ke Bandung. Disini aku merasa ada yang
lain, tak biasanya aku ingin pulang ke Bamdung sore hari. Saat mau pulang aku
pamitan, cium tangan, kening, dan pipi papih .
“Papih sembuh ya pih, aku pulang dulu ya, Pih”
“Iya ati-ati, kalau udah sampe sms ya ca”
Aku berangkat, dalam perjalanan aku menangis. Sebenarnya,
entah apa yang aku tangisi dan perasaan ini semakin tak menentu. Perjalanan
terasa lama, sepanjang jalan diguyur hujan. Akupun sampai sudah cukup larut,
lelah rasanya akupun tertidur.
pukpuk.. yang sabar yah,,,,
ReplyDelete