Pagi itu, angka pada jam dinding menunjukan pukul 05.00 WIB. Udara masih terasa menusuk tulang, adzan shubuh pun telah memecah sunyi. Sayangnya, lantaran kelelahan saya tidak terbangun karena udara yang menusuk ataupun lantunan indah suara adzan. Saya terbangun karena suara nyaring di dekat telinga saya. Ya, suara itu berasal dari handphone saya. Tapi, ini bukan suara alarm melainkan suara panggilan telepon. Awalnya bingung, siapa yang menelpon saya sepagi ini. Saat kupandangi layar handphone tertera nama salah satu kakak saya.
“Ca, udah bangun?”
“Baru aiman, kenapa?”
“Mamah mau kesana ya, ikut tidur sebentar,”
“Maksudnya gimana?”
“Ini ngomong aja sama mamah,”
“Ca, mamah mau ke kosan sekarang ikut tidur sebentar. Ini di
Advent. Papih masuk HCU (High Care Unit)””
“Astagfirullah, papihnya gimana aja mah”
“engga apa-apa”
Tak lama, mamah datang diantar oleh kakakku yang paling
besar. Saya kaget dan bingung. Lalu mamah menjelaskan, bahwa semalam papih
menggigil hebat, tapi papih masih enggan pergi ke rumah sakit. Akhirnya mamah
dan kakak-kakakku memaksa papih untuk dirawat di Bandung, sampai Papih
digendong masuk ke mobil. Ini sebenarnya ganjal, Papih
biasanya jika diminta untuk dirawat di Bandung selalu mau. Sebelum berangkat ke
Bandung, Papih dibawa ke Rumah Sakit Majalengka dahulu. Tujuannya agar bisa di cek tensi, gula darah dan yang lainnya. Ternyata, hasilnya mengagetkan, tensi papih ada pada angka 50/30
dan gula darahnya sudah drop. Tapi, mungkin ini yang dikatakan mukjizat atau kehendak Tuhan. Papih masih sadar,
tidak merasa sakit, dan tidak merasa pusing. Papih nampak baik-baik saja. Akhirnya, pihak rumah sakit memutuskan kalau Papih harus
dibawa ke Bandung menggunakan ambulance. Sebelum berangkat, dokter memberikan surat rujukan untuk Rumah Sakit Advent, di dalamnya tertulis bahwa pasien ini terkena Sepsis. Diantara kakak dan mamah gada yang ngeh, pasalnya semua kalut dengan kondisi papih.
Dalam perjalanan, kakakku yang ketiga bersama mamah di ambulance, abang saya sendiri mengemudikan mobilnya. Dalam bayangan saya, betapa kalut dan sedihnya mereka saat itu. Saya sedih, itu berarti terakhir kalinya kakak-kakak saya dan mamah mengantarkan papih untuk berobat. Terutama mamah, setelah 7 tahun mendampingi dengan setia. Tak terbayangkan bagaimana sakit, jatuh, dan rapuhnya mamah. Mungkin, apa yang kutulis ini tak cukup untuk menjelaskan kesedihan yang mamah alami.
Dalam perjalanan, kakakku yang ketiga bersama mamah di ambulance, abang saya sendiri mengemudikan mobilnya. Dalam bayangan saya, betapa kalut dan sedihnya mereka saat itu. Saya sedih, itu berarti terakhir kalinya kakak-kakak saya dan mamah mengantarkan papih untuk berobat. Terutama mamah, setelah 7 tahun mendampingi dengan setia. Tak terbayangkan bagaimana sakit, jatuh, dan rapuhnya mamah. Mungkin, apa yang kutulis ini tak cukup untuk menjelaskan kesedihan yang mamah alami.
Senin, 1 Oktober 2012 sekitar pukul 12.00 WIB, saya menuju
rumah sakit. sesampainya di rumah sakit saya menaiki tangga dan menyusuri lorong menuju ruangan HCU yang
berhadapan dengan ruangan ICU. Anak tangga dan lorong yang sepi, muram, dan
dingin. Di dalamnya menyimpan sejuta harapan untuk orang tersayang yang sedang terbaring lemah agar kembali tersenyum, tapi disana juga tersimpan sejuta kesedihan atas kepergian orang yang teramat dicintai. Ya, kepergian yang tak akan bisa dituntut dan abadi.
Tak lama, saya sampai di ruangan HCU. Papih
masih tampak biasa, sedang disuapi mamah makan siang. Pasien di ruangan HCU ini
berbeda dengan ICU, tak ada alat apapun yang dipasang, selain infus dan
oksigen. Saya masih sempat bercengkarama dengan Papih. Detik demi detik
berlalu, ada yang lain dengan papih. Cara bicaranya lain, nampak kesulitan. Saya
tanya kenapa, papih hanya jawab 'engga' sambil tersenyum. Semakin lama, semakin sulit nampaknya papih bicara. Aku bingung, dalam hati bertanya ada apakh ini? apa papih seperti dulu lagi? atau bagaimana?. Lamunan itu pecah, saat salah
seorang suster dari ruangan Hemodialisa (Cuci Darah) yang sudah sangat akrab dengan Papih menghampiri.
“Pa Najib, cuci darah dulu ya pa, tadi kata Prof harus di
cuci. Kan jadwalnya ya pa,” ujar suster dengan sangat ramah. Papih hanya
mengangguk dan proses cuci darah dilsayakan. Disana hanya ada saya dan mamah,
kedua kakak saya sedang pergi makan.
Satu jam berlalu, tiba-tiba papih
nampak semakin gelisah, Papih seperti hendak bangun dan duduk, Papih juga semakin sulit bicara. Mamah bertanya pada suster, suster bilang akan hentikan sementara proses cuci darahnya. Saat cuci darah dihentikan, kondisi papih tampak lebih baik. Namun, karena memang papih hari itu harus cuci darah, akhirnya cuci darah itu dilanjutkan. Saat dilanjutkan, Papih kembali gelisah. Mungkin ini tanda, bahwa tubuh Papih sudah menolak untuk di cuci :(.
Melihat kondisi itu, suster, saya dan mamah mulai gelisah dan bingung. Saya langsung hubungi kedua kakakku dan kakak sepupu yang kebetulan dokter. Tiba-tiba, dokter di ruangan HCU menghampiri kami.
Melihat kondisi itu, suster, saya dan mamah mulai gelisah dan bingung. Saya langsung hubungi kedua kakakku dan kakak sepupu yang kebetulan dokter. Tiba-tiba, dokter di ruangan HCU menghampiri kami.
“Ibu, ibu istri Pa Najib? Dan ini
putrinya?” ujar dokter.
“Iya dok, bagaimana dok?” kata mamah
“Begini ya Bu, Mba, tadi kami sudah
telfon Prof. Prof bilang ada kemungkinan infeksi di tubuh Bapak sudah menyebar, kami
meminta izin untuk pasang alat di tubuh bapak ya bu.”
“Iya Dok, silahkan tapi bagaimana
dengan keadaan suami saya?”
“Begini ya bu, cuci darah kali ini
harus dibantu do’a. Kalau Bapak bisa kuat cuci darah selama 4 jam saja, berarti
bapak lolos. Kalau engga, kita serahkan pada Tuhan ya, bu?” ucap dokter sambil
tersenyum yang kemudian berlalu menghampiri papih.
Mamah terdiam, saya berlari ke ruang
tunggu dan menangis. Saya menangis sejadi-jadinya. Saya ingat kakak saya yang perempuan dan anak perempuannya yang ada di rumah, tapi saya tak sampai hati memberi tahunya. Saya akhirnya menelpon sahabat saya, Wulan. Saya ceritakan semuanya sambil tak hentinya menangis. Saya yakin, wulan yang saat itu menuju Bandung ikut gelisah. Tak lama, saya terima SMS dari dua sahabat saya yang lain, Neddy dan Selly. Mereka bilang menuju rumah sakit.Tak lama setelah itu, Kakak dan beberapa saudara saya datang, mereka langsung masuk
ke ruangan, Saya pun kembali masuk. Begitu masuk, kulihat Mamah tengah menangis sejadi-jadinya
di samping Papih.
“Ka, kenapa jadi gini ka, bangun ka,
kasian mamah ka” ucap mamah sambil terisak. Saya bingung melihat kondisi ini.
Suster berlalu lalang, papih masih saja gelisah. Di mulutnya sudah terpasang
alat bantu nafas yang
terpasang ke tenggorokan. Kalau tidak salah, memang alat itu dipasang ke
tenggorokan. Saya belum mencari tau apa namanya, tapi yang jelas saat itu Papih
sudah dipasang alat bantu pernafasan. Tentunya bukan lagi seutas selang yang ditempel ke hidung atau menutupi hidung. Saya yakin, alat itu menyakitkan. Tapi itu harapan, harapan untuk papih, keluarga dan saya :(
No comments:
Post a Comment